Setelah turun dari mendaki Gn. Slamet akhirnya kami sampai di terminal Purbalingga pada pukul 16.00 WIB 22 Januari 2009, di salah satu sudut terminal kami berdiskusi sejenak untuk menentukan tujuan kami selanjutnya dan akhirnya aku terus melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo untuk mendaki Gn. Sindoro dan Gn. Sumbing, sedangkan Budung menuju rumah neneknya di Cirebon dan akan menyusul dalam beberapa hari kedepan, sedangkan Blaping pulang ke Pekanbaru karena ibunya sedang dirawat di rumah sakit.
Dengan menggunakan jasa bus saya menuju Wonosobo, ongkos pada saat itu kira-kira Rp.20.000 dan setelah melakukan perjalanan selama 5 jam, sekitar pukul 22.00 WIB saya sampai di dusun Kledung kabupatan Wonosobo, kemudian menuju ke base camp Sindoro dengan bantuan ojek.
Dengan menggunakan jasa bus saya menuju Wonosobo, ongkos pada saat itu kira-kira Rp.20.000 dan setelah melakukan perjalanan selama 5 jam, sekitar pukul 22.00 WIB saya sampai di dusun Kledung kabupatan Wonosobo, kemudian menuju ke base camp Sindoro dengan bantuan ojek.
Sekitar pukul 22.15 WIB saya sampai di base camp Sindoro yang biasa disebut dengan Grasindo, ternyata di base camp tersebut sedang sepi, tidak ada pendaki yang istirahat di sana, base camp ini dikelolah oleh mas Ragil, orang tuanya adalah mantan kades di dusun Kledung, selain mengelolah base camp ternyata disini juga memproduksi dan menjual berbagai macam souvenir seperti stiker, gantungan kunci, kaos, plakat dan lain-lain.
Setelah beberapa jam datang rombongan pendaki dari Jember yang ternyata sempat bertemu di Purwokerto pada saat mendaki Gn. Slamet,
Keesokan harinya mereka bersiap untuk melanjutkan mendaki Gn. Sindoro.
Saya tidak bisa langsung mendaki Gn. Sindoro karena kondisi fisik yang belum prima setelah mendaki Gn. Slamet dan juga harus menunggu Budung.
Setelah rombongan pendaki dari Jember berangkat, kemudian datang rombongan pendaki dari Jakarta, meraka cuma bertiga, setelah mengobrol dan bersosialisasi ternyata meraka bukan dari kelompok Pencinta Alam melainkan Freelance, begitu mereka menyebut diri mereka. Mereka berprofesi sebagai pegawai di salah satu perusahaan di Jakarta dan kegiatan mendaki gunung hanyalah hobi dan refresing dari kejenuhan kota, begitu yang saya tangkap dari obrolan kami.
Disore harinya mereka bersiap untuk berangkat mendaki Gn. sindoro dengan gagah dan peralatan lengkap mereka berpamitan.
Pada jam-jam berikutnya aku habiskan dengan ngobrol dengan penghuni rumah, kemudian berkeliling desa mencoba mengenali aktivitas sekaligus bersosialisasi dengan penduduk setempat yang mayoritas adalah petani.
Pada malam harinya datang pendaki-pendaki dari berbagai daerah seperti Wonosobo, Temanggung, Jogja, Jakarta, dan Lampung, pada musim liburan banyak pendaki mengisi waktunya dengan mendaki gunung.
Keesokan harinya pada pukul 13.00 WIB Budung sampai di desa Kledung, kami pun langsung mempersiapkan diri dan peralatan untuk langsung mendaki Gn. Sindoro, setelah berpamitan dengan pemilik base camp dan melakukan registrasi dan membayar uang pendakian sebesar Rp.3.000, kami pun bergegas melangkahkan kaki menuju puncak Gn. Sindoro.
Pada pukul 16.00 WIB hujan turus desar sekali dan kami berteduh sejenak di salah satu pondok milik petani, ternyata hujan tak kunjung reda, kami terpaksa melanjutkan pendakian karena hari semakin senja, hujan masih mengguyuri kami, dengan menggunakan ponco kami pun melanjutkan perjalanan.
Pada pukul 17.00 WIB kami sampai di pos I dan bertemu dengan rombongan Sispala dari Temanggung, sambil menunggu hujan berhenti kami mengisi perut yang kosong dengan nasi dan sambal tempe. Setelah makan ternyata hujan tak kunjung henti dan kami memaksakan untuk terus melanjutkan perjalanan menuju pos II.
Ditengah perjalanan hujan bertambah deras, kami pun memutuskan untuk bermalam di jalur pendakian dan mendirikan tenda dome, hujan terus turun, hari semakin gelap dan dingin.
Pada malam harinya kami mendiskusikan rencana esok hari, kami sepakat untuk berangkat pagi-pagi sekali dengan membawa peralatan seperlunya dan meninggalkan sisa peralatan kami disemak, keputusan itu kami ambil dengan pertimbangan kodisi fisik, waktu dan mobilitas pendakian, kami menargetkan untuk langsung turun setelah sampai puncak, mengingat peralatan yang kami bawa tidak banyak dan sangat beresiko apabila terjebak hujan atau badai dalam perjalanan.
Keesokan harinya kami bangun pagi-pagi sekali, cuaca cerah dan tidak ada angin, kami tahu akhir-akhir ini cuaca sangat cepat berubah dan sulit untuk diprediksi, setelah packing kami pun melanjutkan pendakian.
Pada pukul 09.00 WIB kami sampai di pos II dan bertemu dengan pendaki lainnya yang semalam ngecamp disana, diketinggian ini vegetasi didominasi ilalang dan tumbuh-tumbuhan dataran tinggi.
Setelah pos II, track pendakian mulai dipenuhi dengan bebatuan dan kerikil tajam dan dikelilingi hutan lamtaro, lamtaro adalah nama dari jenis pohon yang biasa ditemukan dipegunungan. Disepanjang jalur ini banyak kami jumpai tenda-tenda pendaki dan pendaki lain yang mulai melanjutkan pendakian, dengan bawaan yang lebih sedikit dan ringan kami mencoba untuk mendahului dan berjalan lebih cepat.
Setelah melewati track-track bebatuan yang terjal dan hutan lamtaro kami akhirnya sampai di padang edelweiss, tetapi sekarang bukan musim edelweiss mekar tapi tumbuhan itu tetap saja indah untuk dilihat.
Kebanyakan gunung di Indonesia banyak di jumpai tumbuhan jenis ini dan merupakan tumbuhan yang dilindungi karena pada musim mekarnya banyak penduduk dan pendaki yang memetik bunganya, ini bisa merusak tumbuhan itu bila bungannya dipetik secara belebihan.
Edelweiss memiliki perananan tersendiri untuk menjaga ekosistem didaerah pegunungan, bila keberadaannya tidak dijaga, maka dapat mengganggu ekosistem disekitarnya.
Pada pukul 13.00 WIB kami sampai di puncak Gn. Sindoro dengan ketinggian 3153 mdpl. Puncak sindoro cukup luas dan terdapat kawah mati yang cukup besar, sehingga banyak pendaki yang turun ke kawah tersebut, ada yang mengambil foto, mandi dan ada juga yang cuma memahat nama mereka di tanah dan dinding tebing, ironis memang mereka yang menyebut diri mereka pencinta alam tetapi mereka tidak mencerminkan perilaku yang mencintai dan menjaga alam.
Setelah berkeliling mengitari puncak Gn. Sindoro kami pun bergegas turun, jalur yang kami lalui tidak lebih mudah pada saat mendaki, karena kami harus melewati bebatuan yang tajam dan licin sehingga dibutuhkan konsentrasi lebih untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Ditengah perjalanan Budung terjatuh dan kakinya keseleo sehingga membutuhkan istirahat, tetapi dia masih sanggup untuk melanjutkan perjalanan, untuk menghemat waktu kami pun sepakat untuk mengubah planning, aku akan turun lebih dulu untuk membawa carier yang kami sembunyikan tadi pagi, sedangkan Budung menyusul dibelakang.
Setelah sampai di posisi penyembunyian carier, aku pun bergegas turun dengan membawa carier yang lumayan berat karena berisikan peralatan dan pakaian basah.
Pada sekitar pukul 17.00 WIB aku sampai di base camp dan mengeluarkan peralatan yang basah dari dalam carier.
Sekitar pukul 17.30 WIB Budung pun sampai di base camp sambil istirahat dan mengisi perut dengan makanan kami menemani sang surya tengelam.
Keliatannya keseleo yang di alami Budung cukup parah sehingga dia tidak dapat melanjutkan pendakian ke Gn. Sumbing seperti tujuan awal ekspedisi ini yaitu triple-S, aku memutuskan untuk melanjutkan pendakian ke Gn. Sumbing sedangkan budung istirahat dan memulihkan kondisi di base camp.
Keliatannya keseleo yang di alami Budung cukup parah sehingga dia tidak dapat melanjutkan pendakian ke Gn. Sumbing seperti tujuan awal ekspedisi ini yaitu triple-S, aku memutuskan untuk melanjutkan pendakian ke Gn. Sumbing sedangkan budung istirahat dan memulihkan kondisi di base camp.
Pada malam itu hujan turun sangat deras sehingga kami tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju base camp Sumbing, aku memutuskan untuk berangkat besok pagi menuju desa Garung yang jaraknya sekitar 1 km dari base camp Sindoro.
----------------------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku berangkat menuju dusun garung dan membeli logistik dan perbekalan di warung pinggir jalan, karena jarak antara kedua dusun yang tidak begitu jauh maka aku memutuskan untuk berjalan kaki.
Setelah sampai di base camp Sumbing aku langsung berkenalan dengan pemilik base camp yang juga merupakan kepala desa, kemudian melanjutkan pendakian dengan sebelumnya melakukan registrasi dan membayar biaya pendakian sebesar Rp.5000.
Sekitar pukut 08.00 WIB saya berangkat dari base camp dan menuju puncak Gn. Sumbing, Setelah melewati dusun garung dan perkebunan petani aku pun mulai memasuki semak-semak dan hutan tropis.
Dari panduan jalur yang diberikan oleh pengelolah basecamp ternyata Gunung Sumbing memiliki 2 jalur yang biasa dilalui oleh para pendaki yaitu jalur lama dan jalur baru.
perbedaan dari kedua jalur tersebut terletak pada jenis dan tingkat kesulitannya, dijalur lama track yang disajikan sangat terjal dan licin tetapi jarak tempuh lebih pendek dari jalur baru, sedangkan jalur baru track-nya ralatif landai tetapi jarak yang harus ditempuh lumayan jauh.
Dari kedua jalur tersebut aku memilih jalur lama.
kedua jalur tersebut akan bermuara di daerah Pestan, lokasinya cukup luas dan terbuka tetapi tidak cocok untuk mendirikan dome karena lokasi yang terbuka dan sangat rentan untuk disapu badai.
Pada saat pendakian aku tidak menemukan pendaki di jalur kecuali di daerah Watu Kotak, disana aku bertemu dengan 3 orang dari Sispala STM Jogja yang sedang packing untuk turun.
Di tengah perjalanan aku berusaha untuk menghemat air minum yang semakin menipis, istirahat seperlunya dan mencoba berpikir positif berharap bertemu dengan pendaki lain.
Setelah melewati daerah batu putih aku pun sampai di puncak sekitar pukul 12.00 WIB, cuaca cukup cerah, Gn. Sumbing memiliki banyak puncak, untuk menuju puncak Sumbing kita harus mengelilingi tebing karena letaknya disamping jalur pendakian.
Setelah mengabadikan momen-momen penting dan menikmati suasana puncak Gn. Sumbing aku pun turun, karena kabut mulai naik dan angin mulai dingin.
Menuruni daerah batu putih sangat berbahaya karena bebatuannya rapuh dan terdiri dari kerikil-kerikil kecil yang licin, perjalanan turun sedikit beresiko dari pada saat mendaki, sehingga dibutuhkan konsentrasi dan fokus pada setiap pijakan kaki.
Setelah 4 jam perjalanan yang mencekam, aku pun sampai di perkebunan penduduk dan berjumpa dengan petani setempat yang sedang berteduh karena gerimis mulai turun mengguyuri daerah itu.
Pada pukul 16.30 WIB aku sampai kembali di basecamp Sumbing dan bertemu dengan rombong Sispala STM yang aku temui di watu kotak tadi dan rombongan mahasiswa UMY Jogja yang juga baru turun, aku tidak bertemu dengan mereka karena mereka menggunakan jalur baru dan tidak melanjutkan perjalanan ke puncak karena kabut mulai turun pada saat mereka mendaki.
Sambil ngobrol-ngobrol ringan kami menikmati dinginnya suasana pegunungan dan hangatnya persahabatan yang ditemani nasi goreng dan teh hangat.
Setelah 8,5 jam perjalanan yang aku lalui sendiri mendaki Gunung Sumbing, aku bersyukur pada Tuhan, yang mempersilakan aku menikmati alam ciptaanNya.
Hujan begitu deras diluar, untuk saat itu aku merasa sangat lelah dan sangat bosan dengan hujan.
Dan mungkin merindukannya lagi dilain waktu.
GMS XI-X /AP/ 092
Tidak ada komentar:
Posting Komentar