Mahasiswa Pencinta Alam
Green Machine Spirit
Universitas Sriwijaya

Salam Lestari...!
Jarak dan waktu bukan lagi halangan, mari merajut asa serta menyulam persaudaraan melalui dunia maya.
Semoga blog ini menjadi media komunikasi, silahturahmi dan dapat membuat tali persaudaraan kita menjadi lebih erat.

6 Okt 2012

SOE HOK GIE


(in memoriam, 16 Desember 1969)
”Keyakinan Menjalani Hidup Dengan Keindahan Keberanian dan Kejujuran”

Camerado, I give you my hand !
I give you my love more precious than money
I give you myself before preaching or law;
Will you give me yourself, will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live ?


14 Agustus 1999
(Batu marmer itu tertulis in memoriam Drs. Soe Hok-gie dan Idhan Lubis, 16 Desember 1969, dua orang anggota Mapala UI yang meninggal terhirup uap beracun puncak semeru, 
Tempat yang sunyi dan tenang, sesekali terdengar bunyi ledakan dan asap cendawan terbentuk di angkasa keluar dari bawah kawah semeru, 30 tahun yang lalu jasad mereka terbaring disini, diliputi kabut dingin yang membekukan badan namun membebaskan mereka dari kegelisahan, sebuah kegelisahan jiwa tentang dekadensi yang terjadi)

Soe Hok-gie, muda, berani, berkarakter dengan ide-ide intelektualnya mengalir bak air bah yang menerjang bebas tanpa batasan idiologi, politik, social dan ekonomi maupun budaya. Seorang pemuda yang di usia mudanya telah menunjukkan sebuah independensi sikap yang tertuang dalam tulisan-tulisan yang berani dan lugas dalam mengkritisi kondisi yang terjadi. Sikap tanpa pandang bulu ini dapat kita baca pada tulisannya “ Siapa Saya ?

” Kadang-kadang  kita bertanya kepada diri kita sendiri ”siapakah saya” Apakah saya seorang fungsionaris partai yang kebetulan menjadi mahasiswa sehingga saya harus patuh pada instruksi dari bapak-bapak saya dalam partai. Apakah saya seorang politikus yang harus selalu realistis dan bersedia menerima kompromi-kompromi prinsipial dan tidak boleh punya idealisme yang muluk-muluk?”

” Apakah saya seorang kecil yang harus patuh pada setiap keputusan dalam DPP ormas saya atau pimpinan fakultas atau pemimpin-pemimpin saya? Ataukah saya seorang manusia yang sedang belajar dalam kehidupan ini dan mencoba terus-menerus untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas”

” .................karena itu saya akan berani berterus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan salah tindak. Lebih baik bertindak keliru daripada tidak bertindak karena takut salah"

” ............Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapapun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara kreatif. (A man is as he thinks). ”

Sebuah penegasan sikap yang jelas, independensi yang mendasari setiap tindakannya, seperti ditunjukkanya dalam berbagai protes terhadap kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto, ada sebuah kejadian menarik sebelum Gie mendaki semeru, 12 Desember 1969 ia sempat mengirimkan bedak, gincu, cermin, benang dan jarum kepada 13 perwakilan mahasiswa yang duduk di parlemen dengan ucapan agar mereka dapat lebih cantik dan anggun di depan para penguasa.
Sebuah seloroh yang kreatif menyertai paket hadiah ’lebaran natal’ itu :

“…….Bersama surat ini kami kirimkan kepada Anda sebuah hadiah kecil kosmetik dan sebuah cermin kecil sehingga Anda, saudara kami yang terhormat, dapat membuat diri kalian lebih menarik di mata penguasa dan rekan-rekan sejawat anda di DPR-GR, bekerjalah dengan baik, hidup orde Baru, Nikmatilah kursi anda- Tidurlah nyenyak”

”.......Teman-teman mahasiswa anda di Jakarta dan ex demonstran ’66

Ungkapan khas seorang yang demonstran yang membikin merah kuping mereka yang membacanya, Sindiran panas bagi yang merasa tersindir (kalau saja Gie masih hidup saat ini, tentulah saat ini anggota dewan yang terhormat itu tidak dapat duduk dengan tenang di kursinya...pen.)

Banyak karangan dan tulisannya yang tersebar di berbagai media yang menyoroti masalah-masalah humanisme yang berkembang di saat itu, ini membuktikan bahwa sikap nasionalisme dan patriotisme kebangsaan sangat melekat di jiwa seorang Gie, kegelisahan, kekecewaan yang terlontar merupakan gambaran dari rasa patriotisme dan cintanya pada ibu pertiwi.

Dan jika seseorang bertindak sebagai patriot karena jiwanya terpangggil untuk membela negara, maka pertanyaan yang timbul adalah : ” untuk apa saya bertindak patriotik?” Siapa yang nanti akan memangsa hasil dan tindakan patriotisme saya? Elite partai, yang hanya berjuang untuk partainya saja tapi, berlagak mengatasnamakan kehendak rakyat? Para birokrat yang gemar korupsi, karena lupa mereka digaji oleh rakyat? Atau para wakil rakyat yang merasa dirinya bos padahal seharusnya mereka bekerja untuk melayani rakyat? Tidak ada gunanya saya menjadi patriot, karena orang lain yang memetik buahnya dan saya akan segera dilupakan.

Sikap apatis ini jelas akan merugikan. Bangsa dan negara yang dirugikan. Meski, kenyataan itu ada benarnya juga. Jadi, harus ada yang mapu menyakinkan, bahwa setiap warganegara Indonesia wajib bersikap adan bertindak sebagai patriot  jika negara dan bangsa membutuhkannya, dan kita tak boleh hanya berdoa saja, agar lahir tokoh-tokoh seperti Gie. 

Gie seorang yang intelektual idealis, ia sama sekali bukan yang apatis, ia sengaja mencemplungkan diri ke dalam dunia politik yang dia anggap sebagai lumpur koto, namun ia tidak mau terlalu lama terlelap dalam kehidupan politik yang munafik. Pada akhirnya ia memilih untuk berada di luar politik yang bebas, independen dan kritis.

“ Saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang selalu mencanangkan kebenaran dan saya bersedia menghadapi ketidakpopuleran. Ada sesuatu yang lebih besar: kebenaran.”

Gie malu melihat ketidakadilan menguasai negeri ini, melihat orang makan nasi aking atau gaplek sementara pembesar hidup bergelimang kemewahan. Ditengah timbunan dari berbagai skandal dan krisis yang melanda negeri saat ini, Gie membawa kenangan pada masa lalu yang sudah lama hilang-rasa malu yang mendorong orang selama bergenerasi untuk membuat perubahan

Adapun sikapnya untuk tegak di satu sisi, hitam-putih, benar-salah, hal  yang menjadikannya sebagai kekuatan dan bisa menjadi sebaliknya, hal ini nampaknya disadari oleh seorang gie, memilih salah satu akan membawanya ke dalam posisi kawan dan lawan. Simak salah satu baris dalam catatan hariannya 

 Dia sangat siap dengan ongkos yang harus dibayar mahal untuk pendiriannya itu, agar Tuhan Maha Besar, Allah Yang Maha Rahim sangat menyayangi hambanya itu, maka Soe pun dipangggil pada usia muda....... agar tetap dikenang untuk menjadi suri tauladan bagi para pejuang kemerdekaan bahwa perjuangan itu meminta kesiapan berada dalam kesepian
Sebait petikan puisi Walt Whitman, Song of the Open Road yang menjadikan dasar tulisan Gie mengenai kegiatan yang disukainya, mendaki gunung, kegiatan yang mengembalikan semangat hidupnya, tempat yang pada akhirnya mengembalikan dirinya ke Penciptanya.Nobody knows the trouble I see, nobody knows my sorrow, sepotong bait ini mungkin bisa menggambarkan perasaan Soe. Untuk pemurnian jiwanya ia memilih untuk mencari kesunyian yang didapatinya di puncak-puncak gunung. Bila pada akhirnya ia menemukan kesunyian abadi di puncak semeru pada desember 1969, hal itu memang merupakan jawaban atas kegelisahannya.

Nobody knows the trouble I see 
Nobody knows my sorrow





Oleh Fajar Aswindarta
(Fajar Aswindarta, pertama berkenalan dengan Soe Hok-gie  dari membaca buku yang  tergeletak di meja rumahnya, Catatan Seorang Demonstran).                           
(Seorang teman yang tak pernah bertemu)

Disarikan dari buku 
Soe Hok Gie………sekali lagi 
Buku, pesta dan cinta di Alam Bangsanya
Rudy badil | Luki sutrisno Bekti |Nesy Luntungan R.(ed)
Prev